Langsung ke konten utama

Postingan

Neta S Pane, Kapolri Swasta Pejuang Kemanusiaan

JJJ J Jangan tertipu pada penampilan. Nasihat lama itu diingatkan oleh Neta Saputra Pane, ketika pada suatu hari kami ngobrol seperti biasa diselingi ngopi di markas Kandang Ayam. Saya pendengar baik celotehnya, juga celoteh abang lainnya yang berkisah semasa jadi jurnalis muda era 1980an. Cerita sangat mudah melompat ke isu politik terkini dan lainnya. Tak membosankan! Maklum, saya junior di komunitas para "suhu" wartawan ini. Pas mereka lagi "galak-galaknya" di lapangan, saya baru belajar mengoreksi tulisan para wartawan di koran "Terbit" tahun 1991. Dari cerita mereka, saya mendapat informasi "A1" soal media, organisasi pers, dan lainnya. Obrolan sore biasanya berlanjut di warung makan terdekat sampai malam.  Saya mengenal Neta Pane (tapi Neta tak kenal saya, menyedihkan ya?) tahun 1993 ketika dia Asisten Redaksi Pelaksana di koran sore milik H Harmoko itu. Sekelebat saya melihatnya, tapi tidak sempat ngobrol. Lalu kami bertemu di Kandang Ayam
Postingan terbaru

Berenang ke tepian Presiden Republik Ikan

Seperti kebanyakan nelayan dan wisatawan di perairan Pantai Pangandaran, Jawa Barat ketika melihat Susi Pudjiastuti mantan menteri fenomenal itu, adalah minta izin berfoto bersama. Saya pun begitu. Cekrek!. Banyak pantai di negeri ini saya kunjungi dan renangi. Rasanya rugi dan penasaran jika bepergian atau dinas ke daerah dekat pantai tanpa merasakan asinnya air laut setempat. Berapa pastinya, entahlah. Tapi saya pernah mandi di Pantai Nirmala (kompleks Hotel Nirmala) dan Pantai Pulau Rasi di Biak-Numfor, Papua. Warna air laut (juga ikannya) di wilayah Teluk Cendrawasih ini menawarkan kegelisahan yang unik. Tak salah jika ada yang menyebutnya sebagai salahsatu surga. Surga lainnya ada di Pulau Bokori Kendari, Sulawesi Tenggara. Saya datang ketika komunitas penyu yang dulunya berkoloni di sana hijrah entah kemana. Syahdan, Pulau Bokori merupakan tempat hewan laut penyu beranak-pinak. Suku Bajo penghuni pertama pulau kecil itu menyebut penyu sebagai "Boko", lalu "ri&qu

12 Mei 1998 hari itu saya nonton kerusuhan - Reformasi

HARI INI 20 TAHUN LALU #REFORMASI -- Artikel ini adalah copy paste tulisan saya di Facebook tanggal 12 Mei 2018 saat usia Reformasi berjalan 20 tahun. *** Matahari tidak terlalu galak ketika saya pulang nonton premiere film impor di Blok M Plaza, Selasa (12/5/1998) siang itu sekitar pukul 11.30, saya mendengar kabar adanya kerusuhan di daerah Grogol. Beberapa teman wartawan yang juga nonton (diundang oleh mbak Rayni N. Massardi) membicarakan situasi di Grogol. Saya pun meninggalkan obrolan, bergegas ke tempat parkir gedung, merogoh kantong, nyomot kunci motor. Vespa biru metalik tunggangan saya adalah produksi tahun 1991 dengan kapasitas mesin 150 Cc. Dia lancar distater, lincah menyalip celah kemacetan sepanjang jalan ke arah Grogol. Sebagian ruas jalan sudah tak bisa ditembus, saya berbelok melipir ke 'dalam' hingga tembus di depan Mal Ciputra. Mal sudah ditutup untuk kendaraan parkir. Kerumunan massa dengan wajah murka berteriak-teriak di kanan-kiri jalan. Saya m
JALAN SUNYI MENUJU BUKIT GANCIK DESA SELO, BOYOLALI Hening dan sunyi dapat membakar gairah fantasi sebagian orang. Dan, saya termasuk sebagian orang itu, ketika bersenyawa dengan alam sebuah desa berbukit  yang terjebak diantara dua gunung; Merapi dan Merbabu di Jawa Tengah pekan lalu. Desa berhawa sejuk-segar itu bernama Selo Nduwur yang secara administratif merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Desa Selo diakrabi oleh para pendaki gunung karena merupakan jalur paling umum yang direkomendasikan oleh para pecinta alam. Pagi dan terutama malam hari di kawasan bersuhu 8 sampai 10 derajat Celcius ini lebih terasa panjang. Saya rela melek malam dengan beberapa peserta 'familiarization trip' dari Forum Wartawan Pariwisata. 'Njagong' hingga dinihari di depan homestay. Ada kopi panas yang cepat mendingin, umbi singkong dan pisang rebus di atas meja.  Andaikan tidak ada rencana mengintip prosesi matahari terbit esok pagi, tentu saya habiskan

Sibad, Dangdut dan Dolar

Seorang teman berbisik, tepatnya dia berbicara pelan pada saya saat menyaksikan Wishnutama bersalaman dengan Arief Yahya di Gedung Sapta Pesona, Jakarta pekan lalu. "Kok, pasar bereaksi negatif di saat presiden mengumumkan Kabinet Indonesia Maju?" katanya. Matanya bolak-balik menatap saya dan gawai di tangannya. Rupanya dia berusaha menjelaskan 'reaksi negatif' pasar saham yang dimaksud, dengan menunjukkan data dari laman Bursa Efek Jakarta. Saya menanggapi seadanya dengan bersuara sama pelannya dengan dia. "Mungkin reaksi sesaat saja," kata saya sok menganalisa bursa saham hari itu. Tapi Selasa (29/10/2019) sore ini ketika kantor bursa saham mulai ditutup, saya menyusuri posisi kurs dolar terhadap rupiah, yang ternyata 1 US Dollar setara dengan Rp14.040. Nominal itu mari kita jumlahkan dengan hitungan-hutungan sebagai berikut; 548.000.000 x 14.040 = 7.693.920.000.000. Kemudian dibagi 1000, yang hasilnya adalah 7.693.920.000. Angka tersebut ada

Perdebatan tentang rindu sepakbola

Keberuntungan harus dikejar. Petuah itu tidak meleset ketika saya dan rekan Herman Wijaya bertandang ke 'kandang ayam' di Rawamangun pada Rabu (25/9/2019) sore. Kami penasaran ingin melihat dua legenda jurnalis sepakbola, Cocomeo dan Sawung Sakti Umbaran adu argumentasi melanjutkan pertengkaran mereka di facebook beberapa hari lalu.  Rumah bertingkat di Jl Daksinapati (tak jauh dari Masjid At Taqwa) itu menjadi titik temu, yang dijanjikan oleh mbah Cocomeo selaku tuan rumah. Di ruang tamu lantai atas, saya dan Herman merancang skenario, mengatur posisi duduk untuk merekam perdebatan nanti. Selepas adzan Isya, terdengar suara kayu dipukul dari luar ruangan, ternyata itu ketukan salam dari Bang Sakti. Kedua jurnalis senior itu saya kenal dalam intensitas yang cukup, namun pada waktu dan tempat berbeda. Sakti Sawung Umbaran adalah anak tokoh pahlawan perfilman pendiri dan Ketua Persatuan Artis Film Indonesia pertama tahun 1956, Soerjo Soemanto. Kami sering bertemu sewaktu

"Manhattan Transfer" dan foto wartawan Amazon di "Warkop DKI Reborn 3"

Jelang tidur semalam, saya menyalakan Youtube , memutar lagu-lagu The Manhattan Transfer . Dari sekian lagu, Chanson D’Amour terasa melekat di hati; saya putar empatkali karena memenuhi unsur relaksasi. Lagu lainnya lebih dinamis dan kurang sopan memasuki gendang telinga diatas jam 12 malam. Kuartet Cheryl Bentyne, Tim Hauser, Alan Paul, dan Janis Siegel bernyanyi dengan teknik ‘memecah vokal’ mereka menjadi empat warna dalam satu tarikan harmonis, selaras. Asik. Lalu berharap, semoga bangun tidur pagi, badan segar kembali. Grup tone jazz asal Amerika bentukan tahun 1969 ini merupakan panutan grup dari Bandung, Elfa’s Singers dan juga Chaseiro . Gaya dan teknik bernyanyi Manhattan Transfer mereka transformasi menjadi skill khusus. Lima tahun lalu, saya senang mendengar CD MP3 kompilasi lagu-lagu lawas 1960an, di dalamnya termasuk lagu Chanson D’Amour . Grup ini pernah ke Jakarta beberapa kali, tampil di sejumlah kota di Indonesia tahun 1996. Konser pertama mereka wakt

5000 Warga Ciputat Naik Busway Transjakarta

Silakan konfirmasi soal jumlah pengguna busway dari dan ke Ciputat, Tangerang Selatan setiap harinya. Data resmi dari bibir seorang petugas kondektur Transjakarta rute Bunderan Senayan - Ciputat menyebutkan, ada 5000 penumpang per hari di trayeknya. Pada Senin (11/3/2019) malam, usai menghadiri screening film The Sacred Riana karya terbaru sutradara Billy Christian di Studio XXI Plaza Senayan, saya loncat ke halte busway Bundaran Senayan kemudian naik ke arah Ciputat. Waktu pintu busway yang padat penumpang itu terbuka, kondektur menyembur keluar dan bersuara keras: "Silakan masuk bagi yang merasa muda, kuat berdiri, dan langsing," kata petugas berseragam itu. Saya dan rekan Herman Wijaya sudah berimpitan dengan para penumpang lainnya ketika pintu bus ditutup. Informasi awal dari sang kondektur tadi sebenarnya terdengar agak lucu, tapi cukup tegas dan lugas. Mengapa? Karena di dalam bus, selama perjalanan saya perhatikan para penumpang yang berdiri. Mereka c

Ketika Harus Bilang "Ya", Maka Rasakan Sensasinya

Ketika orang meminta kita mengerjakan sesuatu, itu adalah bentuk harapan dia terhadap kita. Lebih dari itu, saya anggap semacam doa. Maka, jangan ragu-ragu, iyain aja ! Aminkan. Beberapa kali saya diminta (didoakan) menyelesaikan sebuah tugas pekerjaan. Misalnya mengorganisir lebih dari satu bidang, yang melibatkan banyak orang. Sewaktu bekerja di Harian Terbit, pihak manajemen koran milik grup Poskota itu menugaskan saya secara estafet sebagai korektor, staf sekretaris redaksi, juru foto, penulis kolom ( Kopi Sore ), dan reporter . Bersama aktor Andi Arsyil jadi narsum diskusi "Kiat Menembus Pasar Internasional". Sebagai   reporter , saya diminta oleh redaktur yang sibuk nyambi di luar kantorl, agar saya menjaga rubrik sekaligus perwajahan ( lay out ) dua halaman rubrik Hiburan. Saya berkutat di desk hiburan mulai 1995. Jadi, selain menulis berita dari lapangan, saya juga kerjakan tugas redaktur yang ketika datang, dia tinggal kasih approavel sebelum

Ujian Penumpang Transjakarta di 'Jalur Neraka' Cakung

Siapa bilang naik busway Transjakarta nyaman? Cobalah tanya para penumpang moda transportasi modern itu, yang setiap hari melintasi 'jalur neraka', sepanjang jalan raya Cakung, Jakarta Timur. Tanyakan kepada mereka yang tidak dapat tempat duduk, seberapa nestapanya berdiri selama 2,5 jam tanpa dapat melakukan hal apapun, kecuali sabar dan bertahan. Seorang ibu membawa anak laki-lakinya berusia 8 atau 9 tahun, naik busway rute Asmi - Kota Harapan Indah pada hari Rabu (6/2/2019). Mereka berdiri sepanjang jalan macet. Suasana stagnan itu kerap terjadi hampir selama tiga tahun terakhir. Truk dan kontainer dari kawasan Industri Pulogadung bersemuka dengan truk kontainer dari kawasan pergudangan di Jalan Cacing (Cakung Cilincing). Kendaraan raksasa itu berebut tempat dengan mobil, dan motor di kawasan yang sedang dibangun infrastruktur jalan layang. Bagi warga kebanyakan, termasuk ibu dan anaknya tadi, naik busway merupakan pilihan satu-satunya yang terbaik. Busway

Syuting Bareng Tiga Wartawan Senior di Metro TV

Panelis Q&A: Sudjiwo Tejo, Bens Leo, saya, Maman Suherman, Mc Daddy, dan Indra Bekti.  Lantai 3 Studio Grand Metro TV pada Selasa (30/1/2019) siang mengingatkan saya pada artis musisi Ahmad Dhani, yang baru dipenjarakan atas kasus ujaran kebencian. Tujuh tahun lalu, di acara 8-Eleven pada 3 Maret 2011 saya bertemu  dengan boss Republik Cinta Management itu, di obrolan membahas kekerasan yang dilakukan Dhani pada juru kamera infotainment dari Global TV. Sehari sebelumnya, Dhani dipanggil oleh Dewan Pers. Diskusi hangat itu dipandu presenter cantik Marissa Anita dan si ganteng Tommy Tjokro. Saya diundang oleh Metro TV mewakili Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ditemani Eko Maryadi dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Dhani mengaku tidak melakukan kekerasan seperti diberitakan media, dan dia punya tim infotainment sendiri yang dipeliharanya. Hanya saja tidak disebut mana saja infotainment binaannya itu. Selesai syuting siaran langsung itu, kami berfoto ria. Tommy Tjokr

Buku Kecil, Teman Perjalanan Jarak Pendek

Awal Februari 2019, saya menghadiri acara syukuran pernikahan artis sinetron, yang belum saya kenal. Namanya Maya Yuniar. Roby Bo, teman berprofesi model iklan, berbadan tambun, kepala botak dan berkumis mengajak saya ke acara yang berlangsung di Grand Sharon Residence, Bandung. Maya Yuniar "Datang ya, bro. Hotel sudah disiapin buat lu nginep," kata Roby via Whatsapp , Jumat (1/2/2019) siang. Saya menyanggupi datang. Tapi, malam itu harus nonton pentas  Nyanyi Sunyi Revolusi,  drama kisah sastrawan Amir Hamzah yang mati dibunuh entah oleh siapa di jaman pergerakan. Sudah lama juga tidak main ke Gedung Kesenian Jakarta. Maka, malam itu saya abaikan rencana menginap di Bandung. Besok pagi saja berangkatnya, begitu pikir saya.  Nyanyi Sunyi Revolusi dihadirkan oleh Titimangsa, brand milik artis Happy Salma. Sekarang, istri putra salahsatu raja Bali ini rajin memproduksi pentas kesenian dan teater. Dari beberapa produksinya, baru kali ini saya berhasil no

Sudahkah Anda Nyanyi Lagu Wajib Pagi Ini?

Sepucuk surat imbauan resmi dari Kemenpora beredar kemarin. Surat ditujukan kepada calon penonton film di bioskop agar menyanyikan lagu wajib, lagu kebangsaan "Indonesia Raya". Mengapa imbauan itu hanya di bioskop, mengapa tidak di tempat hiburan lainnya? Di kebun binatang Ragunan, Taman Mini Indonesia Indah, misalnya. Atau tempat hiburan umum yang lebih privat, tempat karaoke, panti pijat dan sejenisnya, misalnya? Mengapa lagu itu harus dinyanyikan di awal, bukan di akhir film? Imbauan itu terkesan genit semata, walau baik maksudnya. Mungkin supaya calon masyarakat penonton film di bioskop selalu sadar bahwa mereka masih bernegara dan tak lupa membawa rasa nasionalisme. Atas nama nasionalisme, jangan-jangan imbauan itu muncul karena Kemenpora baru sadar, bahwa jumlah film impor jauh lebih banyak dari film Indonesia. Itu sangat telat!  Sebab, perbandingan kuoata film yang diatur UU No 33 tahun 2009 tentang Perfilman adalah 60:40 (film Indonesia vs film Impor). Tapi, y

Insiden di Panggung Usmar Ismail Awards 2016

Malam penganugerahan Usmar Ismail Awards (UIA) 2016 berlangsung Sabtu, 2 April di Balai Kartini, Jakarta Selatan. Sekitar jam 21.00 saya yang berada di luar studio, didatangi tim Trans7 (official beoadcast UIA) agar saya siap-siap maju ke panggung untuk mewakili almarhum SM Ardan yang malam itu mendapat Penghargaan Khusus dari Dewan Juri UIA sebagai Pewarta Film Pelestari Arsip Perfilman. Saya sempat menolak, dan minta agar Kepala Sinematek Adisurya Abdy saja yang menerima, karena lebih tepat. SM Ardan lebih dari 22 tahun bekerja di pusat dokumentasi perfilman itu. Tapi bang Adisurya juga tak ingin dirinya muncul. Akhirnya saya mengalah. Untuk masuk ke studio tidak mudah meski saya punya ID ALL ACCESS. Ritual acara live televisi mengharuskan saya berdiri menunggu break, sebelum masuk segmen berikutnya. Saya ditempatkan di barisan depan, persis di samping kanan Angga Dwimas Sasongko, sutradara film Surat Dari Praha yang semalam meraih tiga Piala Usmar Ismail Awards untuk ka

Kisah Hadirnya Wartawan di Usmar Ismail Awards

Koran Harian Terbit milik PT Surya Kota Jaya (Grup Poskota) berpindah tangan ke pengelola baru pada tahun 2014. Seluruh awaknya termasuk saya, yang selama 20 tahun lebih bekerja di sana mendapat uang sangu. Pembelinya adalah politisi partai Gerindra. Manajemen koran sore yang sempat booming di awal 1990 (saat perang Teluk) dan terbit sejak tahun 1972 itu, salahsatunya teman lama saya. Sejak ada kabar akan terjadi eksodus karyawan dan wartawan, dia sering nelpon dan chat di BBM ( Blackberry Messanger ). Dia ikut sibuk ketika proses awal 'pindah gerbong', dan minta rujukan tentang siapa saja yang bisa diangkut ke gerbong baru. Saya dianggap paham soal Sumber Daya Manusia. Hihi .. Berceritalah saya, dan dia percaya. Sepertinya. Dia ngasih kode, ada peluang posisi jadi redaktur kalau saya mau ambil. Akhirnya, dia tidak pernah nelpon atau kirim BBM karena saya tidak merespon secara saksama dan dalam tempo yang sesingkatnya. Tapi, ocehan saya tentang siapa saja personel ya